Buya Hamka Membela Sila Ketuhanan
Pada tanggal 7 Mei 1951 Presiden Soekarno berpidato dalam
peringatan acara Isra Mi’raj di Istana Negara. Dalam pidatonya Soekarno memberi
nasihat kepada umat Islam Indonesia agar bersatu berjuang menegakkan negara
Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar perjuangan. Menurut Soekarno ketika itu
masih ada saja kelompok masyarakat Indonesia yang mengambil nilai Pancasila
hanya sepotong-sepotong saja. Salah satu kelompok tersebut hanya mengambil sila
Ketuhanan Yang Maha Esa saja. Sementara kelompok lainnya hanya mengamalkan sila
Keadilan Sosial saja.
Pernyataan mengenai kelompok yang hanya mengambil sila
Ketuhanan Yang Maha Esa saja direspon oleh Buya Hamka. Beliau lalu menulis
sebuah buku yang berjudul “Urat Tunggang Pancasila”. Buya Hamka mengekpresikan tersinggungnya
sebagian umat Islam atas pernyataan Soekarno tersebut. Mereka meminta Buya
Hamka untuk menjabarkan bagaimana seharusnya umat Islam memahami Pancasila.
Buya Hamka berpendapat bahwa dalam Islam sila Ketuhanan Yang
Maha Esa bermakna Tauhid. Sebagaimana diketahui bahwa Tauhid merupakan ajaran
utama dari agama Islam yang melandasi segala perbuatan dari umat Islam.
“Perjuangan umat Islam
didasarkan kepada tauhid, itulah Ketuhanan Yang Maha Esa. Segala perjuangan
dalam seluruh hidup, dimulai oleh kaum Muslimin dari sana” kata Buya Hamka.
Dalam perjuangan umat Islam Indonesia melawan kebengisan Belanda
ajaran Tauhid inilah yang menjadi landasan utama. Tokoh-tokoh besar seperti
Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, hingga Tengku Tjik
di Tiro berjuang berlandaskan Tauhid. Tidaklah mungkin totalitas mereka dalam
berjuang yang mengorbankan jiwa dan harta dalam kondisi sulit kekurangan persenjataan
dapat berjuang tanpa henti-henti jika tidak dilandasi motivasi yang kuat.
Motivasi yang kuat tersebut tentu bukanlah harta dan tahta
yang mereka cari ketika berjuang. Justru mereka telah mengorbankan harta dan
tahta kerajaan demi bergabung dengan rakyat untuk berjuang. Hal ini pula yang
terjadi pada Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Saat, Soekarno dan Hatta beserta
pemimpin-pemimpin lainnya diasingkan oleh Belanda, rakyat tetap bergerak
mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Menurut Buya Hamka sila Ketuhanan Yang Maha Esa melandasi
sila yang lainnya. Mereka yang hidup berlandaskan Tauhid sudah pasti menjunjung
tinggi peri-kemanusiaan. “Kemanusiaan itu
baginya adalah keimanan yang tidak dapat dipisahkan, atau hasil yang tumbuh
langsung dari pada sila yang asli tadi; yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa saja,” tulis Buya Hamka.
“Jadi, kalau dia hanya
memegang sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja, tandanya dia mesti menuntut
keadilan sosial. Dan kalau tidak menuntut keadilan sosial, tandanya dia
membohongi agama” tambah Buya Hamka.
Dalam persatuan bangsa Buya Hamka memaparkannya. Bahwa pada
mulanya rakyat Indonesia masih hidup dalam bingkai kebangsaan bersuku-suku di
wilayahnya. Lalu, Islam mengajarkan arti kebangsaan yang lebih luas tidak hanya
sebatas rasa kesamaan pada suku. Sebagaimana yang tercantum di Surat Al-Hujurat
ayat 13.
“Dan sila dari
Ketuhanan Yang Maha Esa itu telah mengajarkan bahwasanya seluruh bangsa adalah
kawan, seluruh manusia adalah sahabat, dan tujuan yang paling akhir ialah
perdamaian kemanusiaan menegakkan dunia yang baru yang adil dan makmur”
kata Buya Hamka.
Dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa inilah empat sila lainnya
diterjemahkan dan diamalkan oleh umat Islam Indonesia. Maka menurut beliau
tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Malah Pancasila akan menjadi
kuat dengan ajaran agama. “Pancasila
sebagai filsafat negara Indonesia akan hidup dengan suburnya dan dapat
terjamin, sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanya, sehingga
agama menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya”
Pendapat Buya Hamka mengenai Pancasila juga didukung oleh
Mohammad Natsir. “Sepanjang Pancasila
mengandung tujuan-tujuan agama Islam, kita kaum Muslim dengan ikhlas, dan tidak
mau ketinggalan untuk menciptakan kebajikan itu. Di atas tanah dan dalam iklim
Islam, Pancasila akan hidup subur” kata Mohammad Natsir.
Sumber: jejakislam.net
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete