Kepulangan Musso melahirkan Pemberontakan PKI
Di sebuah negeri di Eropa pada Maret 1948 terjadi sebuah
pertemuan antara Musso dan Soeripno. Dalam pertemuan tersebut Musso meminta
bantuan kepada Soeripno untuk dapat membawanya pulang ke Indonesia. Musso
berdalih bahwa ia membawa misi baru dar Moskow yang akan dilakukannya di
Indonesia.
Pada tanggal 11 Agustus 1948, Soeripno dan Musso tiba di
Yogyakarta. Soeripno menyerahkan teks perjanjian serta menjelaskan mengenai
tukar menukar konsul dengan Uni Soviet kepada Presiden Soekarno. Musso yang
mendampingi Soeripno berkesempatan bertemu dengan Presiden Soekarno yang
merupakan sahabat lamanya.
Sebelum mengakhiri pertemuan tersebut Presiden Soekarno
meminta Musso untuk membantu memperkuat dan melancarkan revolusi Indonesia
ketika. Musso pun menjawab, “Itu memang
kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen! (Saya datang di sini untuk
menciptakan ketertiban).” Kalimat terakhir yang dilontarkan Musso dalam
bahasa Belanda tersebut mengandung pesan yang buruk.
PKI mengadakan sidang Politbiro pada 13-14 Agustus 1948.
Musso berkesempatan untuk mengutarakan pendapat tentang “pekerjaan dan
kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik”. Ia juga menawarkan
resolusi baru yang dikenal dengan sebagai “Jalan Baru untuk Republik
Indonesia”.
Apa yang disebut sebagai “Jalan Baru” oleh Musso ialah
adanya satu partai kelas buruh baru yang merupakan fusi dari tiga partai
berhaluan Marxisisme-Leninisme. Tiga partai tersebut adalah PKI, Partai Buruh
Indonesia, dan Partai Sosialis. Ketika partai ini akan menjadi satu partai baru
dengan nama PKI. Partai PKI hasil fusi ini akan memimpin sebuah revolusi
proletariat yang akan mendirikan pemerintahan front nasional.
Musso unjuk kekuatan dengan menggelar rapat raksasa di
Yogya. Ia mengakampanyekan pentingnya perubahan pada kabinet presidensial yang
harusnya diganti dengan kabinet front persatuan. Musso juga mengkampanyekan
pentingnya kerjasama internasional khususnya kepada Uni Soviet untuk mematahkan
blokade Belanda.
PKI dibawah Musso mulai bergerak bersama petinggi-petingginya
ke sejumlah daerah-daerah di Jawa untuk memperluas kampanyenya. Pergerakan
Musso di PKI dan Front Demokrasi Rakyat (FDR) oleh Amir Sjarifuddin tidak
disetujui oleh Bung Hatta. Dalam mempertahankan Indonesia merdeka Bung Hatta
memakai cara goodwill internasinal
dengan membuka perundingan. Tidak seperti Musso dan FDR yang terlalu menginduk
ke Uni Soviet yang ketika itu berebut pengaruh internasional dengan Amerika.
Bung Hatta merasa posisinya diperlemah oleh Musso.
Terjadi perseteruan antara kaum komunis dengan Bung Hatta.
Beberapa kebijakan Bung Hatta banyak ditentang oleh kaum komunis. Diantaranya
adalah rasionalisasi tentara yang dianggap oleh kaum komunis sebagai bentuk
provokasi. Hal ini ditentang oleh Amir Sjafruddin karena menurutnya yang berjuang
sejak 17 Agustus 1945 bukan hanya tentara tapi juga seluruh rakyat bergerak.
PKI juga menganggap Bung Hatta memulai provokasi dengan
pembunuhan Kolonel Soetarto komandan Divisi IV yang kemudaian dirubah menjadi
Komandan Pertempuran Panembahan Senopati (PPS). Pembunuhan ini dituduhkan
kepada Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat dan bermarkas di Solo.
Di Solo ketegangan memuncak setelah tewasnya Soetarto. Aksi
culik menculik terjadi antara pasukan Senopati dan Siliwangi. Pasukan Senopati
menuding pasukan Siliwangi membunuh dua tokoh PKI Solo beserta enam perwiranya.
Konfrontasi pun terjadi tanpa menemui jalan damai.
Konflik di Solo juga disebabkan oleh perseteruan antara FDR
dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) oleh Tan Malaka. GRR menuduh bahwa FDR telah
membunuh pimpinan sayap militernya dr. Muwardi
yang jenazahnya tidak ditemukan.
Kejadian di Solo ini menjalar ke Madiun. Komandan Pasukan
Brigade 29 Soemarsono yang pro-PKI mendapatkan info bahwa pasukan Siliwangi
akan melucuti pasukan FDR di Madiun. Mereka juga akan menangkap para
pemimpinnya. Sebelum hal itu terjadi pada tanggal 18 September 1948 Soemarsono
bertindak lebih dahulu dengan mengerahkan 1.500 pasukan untuk menawan 350
prajurit Siliwangi dana Brigade Mobil CPM. Kejadian ini diiringi dengan
kepanikan penduduk, terjadi penjarahan, penangkapan sewenang-wenang, dan
tembak menembak. Kota Madiun sepenuhnya dikuasai oleh FDR. Maka dibentuklah
Pemerintahan Front Nasional di Madiun.
Berita pemberontakan ini sampai ke Yogyakarta pada petang hari.
Pemerintah Republik Indonesia mengambil tindakan tegas. Bung Hatta menegaskan, “Het is nu een zaak van leven of dood. Er op
of er onder” (Sekarang soalnya hidup atau mati. Menang atau kalah).
Di Yogyakarta kekuatan FDR dengan mudah ditumpas oleh pasukan
SIliwangi. Melihat hal ini pasukan berkekuatan tiga batalyon bersama tiga ribu
orang dan para pemimpin PKI melarikan diri dari Madiun pada 29 September. Musso
pimpinan PKI pun tewas pada baku tembak yang terjadi.
Pemerintahan Front Nasional oleh PKI dan FDR gagal total di
Madiun karena tidak mendapat dukungan rakyat. Rakyat masih setia dengan
presiden Soekarno dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Apa yang dilakukan oleh kaum komunis merupakan penghianatan besar karena ketika
itu seluruh rakyat Indonesia masih berjuang mempertahankan kemerdekaan dari
Belanda yang mencoba merebut kedaulatan Republik Indonesia. Kita seperti
ditusuk dari belakang oleh musuh dalam selimut.
Sumber: historia.id
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete