Rumpiang Bahalap
RUMPIANG BAHALAP
“Lamun bahasa
indunesianya, bahalap nintu ba’arti cantik.. utuh ayy.”
“Henn dasar bujur pang
Jambatan Rumpiang tuhh bahalap banar. Napalagi pas rahatan sanja.”
“Kisahnya bubuhan
Dayak Bakumpai nihh badahulu ba’islam daripada bubuhan Banjar pang.”
“Nahh suah jua
mandangar kisahnya nintu. Ujar bahari nihh ngarannya Muara Bahan. Sagala macam
bahan dagangan dari luar negeri di sini basinggah. Tamasuk padagang nang dari
Arab mambawa Islam ka sini tadihh.”
“Jadi amm Marabahan
asal katanya dari Muara Bahan. Ada jua kisah dari urang Kandangan nang lain
versinya”
“Nang kayapa kisahnya
tadihh.”
“Ada dehh J.”
Sambil melewati jembatan yang di bawahnya mengalir Sungai
Martapura ia mengenang kembali sebuah percakapan yang terjadi di tempat berdirinya
Benteng Tatas dahulu kala. Ketika itu ia bersama kawannya dari Dusun singgah
sejenak untuk istirahat di sana. Ia kisahkan pula bahwa dahulu pernah berdiri
sebuah benteng di tengah kota Banjarmasin yang bernama Benteng Tatas yang
jejaknya sengaja dihilangkan. Hal ini karena bencinya rakyat Banjar terhadap
para penjajah yang mengeruk kekayaan alam mereka. Bahkan jejak reruntuhan
Benteng Tatas dihilangkan dan diganti dengan berdirinya masjid megah di Kota
Banjarmasin yaitu Masjid Sabilal Muhtadin. Sebuah isyarat simbol kemenangan
dari rakyat Banjar bahwa tidak akan sejengkal tanah pun akan diberikan kepada
para penjajah. Jikalau di daerah lain lebih memilih merenovasi dan
mempertahankan bangunan peninggalan penjajah, di sini tidak ada ruang untuk
itu. Malah diruntuhkan dan diganti dengan bangunan masjid.
Riuh suara knalpot mengisi ruang di telinganya ketika
melewati jembatan itu. Sambil merasakan teriknya mentari menyegat tubuh ia
mencoba mengingat jalan menuju Marabahan. Dahulu jika tidak salah ibunya pernah
bercerita bahwa kakeknya pernah tinggal di kota itu.
“Bahari lagi mama
masih di dalam parut kai wan nini badiam di Marabahan.” kira-kira seperti
itulah kalimat yang diingatnya.
Banyak sekali kalimat yang diucapkan oleh ibunya yang ia
selalu ingat. Mulai dari kalimat teguran sampai nasihat-nasihat. Dari ibunya
sering menegur dengan keras mengenai sikapnya. Walau teguran keras pada
hakikatnya hal tersebut merupakan simbol kasih sayang yang diungkapkan dengan
cara lain. Adapun nasihat yang sering kali ia dengar adalah tentang kematian.
Ketika mendengar hal tersebut hatinya kerap mendung yang seakan-akan siap
mengeluarkan hujan air mata. Namun, seperti biasa ia sembunyikan kesedihannya
di hadapan orang.
Akan sulit rasanya jika ia lalui hidup tanpa perempuan yang
pertama kali ia sayangi. Seakan tidak ada lagi dorongan hidup yang membara
seperti biasanya. Dalam menjalani hidup ia selalu termotivasi bahwa segala
pencapaiannya dipersembahkan kepada orangtuanya khususnya kepada ibu. Karena
menjadi tabiat manusia jika segala sesuatu yang ia lakukan adalah persembahan
kepada yang disayang. Entah itu kepada sesama makhluk ataupun kepada Yang Maha Pencipta.
Tidak ada yang tahu berapa sisa usianya, dia, dan
orang-orang yang pernah ia temui. Sepanjang jalan entah kenapa ia lebih
mengingat sisa hidupnya yang singkat di dunia ini. Sambil memerhatikan
pohon-pohon di pinggir jalan, ia melihat terdapat dua pohon yang telah
ditebang. Satu pohon dalam kondisi tergeletak yang dikeremuni beberapa orang
yang mengambil kayunya untuk digunakan membuat berbagai keperluan sehari-hari.
Sementara satu pohon tergeletak dengan kondisi kering tidak berdaun yang
dibiarkan saja menatap lalu lalang manusia.
Hingga ia tersadar bahwa telah sampai di Jembatan Rumpiang
yang begitu cerah warnanya. Ia nikmati sungai mengalir di bawahnya sambil
membayangkan mentari tenggelam dan membiarkan bulan menyapa malam. Terlihat
beberapa orang singgah sejenak d ipinggir jembatan untuk mengabadikan
pemandangan di ponselnya. Ia pun juga menikmati setiap alunan angin dan
gemercik sungai yang membawa ke suasana masa lampau ketika ia dengan
cerita-cerita yang lalu. Sebelum menaiki jembatan ini para pengunjung akan
disapa kalimat Kota Bahalap yang
berdampingan dengan taman. Selanjutnya akan disuguhi pemandangan indah cat
merah dan putih pada jembatan.
Jembatan Rumpiang 2020 (koleksi pribadi) |
Merah dan putih dapat ditafsirkan berani dan suci, persis
seperti warna bendera Indonesia. Kata ia dalam hati, sambil memikirkan apakah
ia akan menjadi pohon tergeletak yang akan dikeremuni banyak orang atau
sebaliknya. Persis seperti yang ia lihat di pinggiran jalan yang telah ia
lalui.
Banjarbaru, 30 Juni 2020
Ulek Marabahan
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete