Hubungan Agama dan Negara
Pada sidang konstituante tahun 1956-1959 terdapat dua
golongan besar yang berdebat mengenai konstitusi baru bagi Indonesia. Dua golongan
ini ialah golongan Islam dan golongan Pancasila. Partai-partai Islam yang besar seperti Masyumi, Nahdlatul Ulama, Perti, dan PSII berusaha memperjuangkan
konstitusi berdasarkan Islam. Mohammad Natsir dari Masyumi beberapa kali
mengutarakan pidatonya pada sidang tersebut mengenai hubungan negara dan agama.
Imajinasi Natsir mengenai negara berdasar agama sudah
tertuang jauh sebelum sidang konstituante. Pada tahun 1930-1940 Natsir menulis topik mengenai hubungan negara dengan agama, cinta agama dan tanah air, juga soal
Islam dan kebangsaan.
Pendapat kaum sekuler
yang mengatakan bahwa tidak ada ayat, hadist, atau ijma yang memerintahkan
pembentukan negara agama dibenarkan oleh Natsir. Namun, menurutnya yang
diperintahkan oleh Islam ialah mengatur negara dengan berdasarkan asas Islam.
“Memang negara tidak
perlu disuruh didirikan oleh Rasulullah lagi. Dengan atau tidak dengan, Islam,
negara memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam,
dimana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu
masyarakat… Hanyalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW ialah beberapa
patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur dan
boleh menjadi wasilah yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia
yang berhimpun dalam negara itu.” (Mohammad Natsir, Capita Selecta, Bulan
Bintang, Jakarta, hal. 442, 443).
Natsir berendapat bahwa selama ini penyatuan agama dan
negara sengaja dibuat sulit tanpa menemui titik terang. Sebagai contoh ada
perintah agama yang menyatakan wajib bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu.
Dalam hal ini Islam mempunyai undang-undang kewajiban belajar yang dapat diterapkan
pada institusi negara sebagai pelaksananya guna memfasilitasi hal tersebut.
“Bagaimana
undang-undang Islam ini dapat berlaku, kalau tidak ada kekuasaan pemerintahan
(Negara) yang akan melaksanakan agar undang-undang tersebut dapat dijalankan?”
(Ibid, hal. 441).
Dalam menjalankan sistem pemerintahan Natsir berpendapat
bahwa Islam tidak mengenal kepala agama. “Islam
tidak mengenal “kepala agama” seperti Paus atau Patriarch. Islam hanya mengenal
satu “kepala agama”, ialah Muhammad Rasulullah SAW. Beliau sudah wafat dan tak
ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. “Kepala agama” yang bernama Muhammad
ini, telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam, yang harus dijalankan
oleh kaum muslimin, dan harus dipelihara dan dijaga supaya dijalankan oleh “kepala-kepala
keduniaan”.” (Ibid, hal. 458).
Ketika dalam proses kepemimpinan terdapat konflik antara
perintah agama dan aspirasi rakyat bisa dipastikan negara tersebut dijalankan
tidak berdasarkan Islam. Karena menurutnya tidak ada satupun ajaran Islam yang
menyengsarakan rakyat. Terjadinya konflik ini terdapat dua penyebab. “Kalau ada konflik, antara “kemauan
masyarakat” dan “kemauan Islam” maka satu antara dua: atau kemauan masyarakat
itu emang salah, atau “Islamnya” bukan Islam sejati, tetapi Islam bikin-bikinan.”
(Ibid, hal. 459.)
Dalam hal menjalankan ibadah agama bagi non-muslim, Islam
tidak melarang sama sekali. Hal ini menjadi suatu yang ditakuti oleh non-muslim
jika suatu negara berdiri berdasarkan Islam.
“Dalam satu negara
yang berdasar Islam, orang-orang yang bukan Islam mendapat kemerdekaan beragama
dengan luas. Malah lebih luas lagi dari pada apa yang mungkin diberikan oleh
negara-negara di Eropa sekarang kepada agama-agama yang ada disana.” (Ibid,
hal. 491).
Bahkan ketika menjabat sebagai perdana menteri tahun 1950
Natsir tidak segan-segan memilih saudara setanah air yang berbeda agama untuk
mengisi pos menteri. Natsir memilih orang-orang yang benar kompeten dalam
bidangnya untuk mengisi kabinet tanpa memandang sekat agama, suku, dan
bahasa.
Referensi: jejakislam.net
Comments
Post a Comment