Hujan di Al-Mursyidul Amin
Mentari tersipu malu menyapa hamparan sawah dan juga rerumputan.
Langit berselimut mendung tak ingin berganti pakaian tatkala selayang pandang
gedung-gedung Banjarmasin berubah menjadi gubuk-gubuk kayu pada jalan yang
namanya dinisbatkan kepada gubernur Kalimantan Selatan dimasa lampau.
Laksana kekasih setia yang mengikuti denyut nadi kemanapun
berdetak ialah gemercik hujan yang mengiringi tangguhnya suara knalpot pada
sebuah perjalanan berbusur niat.
Melesat tepat anak panah yang berlabuh di hati kekasih.
Di Al-Mursyidul Amin merupakan dermaga bersandarnya kapal kecil kami. Masih
bergitu syahdu gemercik hujan menyanyikan nada indah tatkala bersentuhan dengan
gerbang kayu penyambutan.
Terasing jiwa dan raga sebab pertama kali menginjakkan kaki
di lautan kebaikan ini. “ihdinas sirotol
mustaqim”. Maka bagi pecinta, hati bagaikan kompas dan kaki adalah
cinderamata kepasrahan. Dituntun untuk bertemu pada permadani kebaikan yang
sudah terlihat di depan mata.
Rasanya inilah yang dicari. Rerintikan air wudhu yang
menyentuh papan-papan kayu menjadi pakaian kesucian pada makam. Memancarkan hikayat
kebaikan. Menyelami samudera hati. Menjadikan persinggahan yang luarbiasa
tatkala hujan menyapa kala itu.
Banjarbaru, 03-01-2021
(Bulik ziarah Gr.
Bakri, Habib Basirih, Gr. Zuhdi, Datu Surgi Mufti; tulak wan amang Sayyid)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete