Kota di Lereng Embun


Ali Syamsudin Arsi

PUISI DAN KOTA SALING BERBAGI

 

selayaknya

 

alam seimbang pada tataran garis lintang dari catatan sejarah paling jauh di belakang tahun demi tahun berjalan dengan mengatas-namakan kesederhanaan meningkat pada kebercukupan naik lagi pada keberlebihan tak mampu menahan naik lagi pada keserakahan melalui jalan keculasan dengan berbagai alasan

 

“Aturan yang kita buat adalah untuk kemakmuran kelompok kita, maka yang lain di luar kita adalah penonton yang tak bisa berbuat apa-apa karena pada waktu ini kitalah yang sedang berkuasa,” semilir angin tak sejuk menerpa sampai ke pojok lapangan dan podium berubah menjadi kereta kuda kencana berselimut emas cerlang cahaya diterpa sinar matahari dengan gemuruh sorak-sorai pendukung di sekitar tampuk hidangan meja makan dan piring garpu sendok serta kain penyapu bibir empuk mewah merekah

 

ibu-ibu melempar senyum tak putus ke mana-mana, “Lihatlah kepadaku, aku telah menjadi yang termegah di antara tumpukkan banyak kepala dan wajah para penonton,” orang-orang sudah saling tahu bahwa delapan puluh lima persen kebijakan para suaminya ada di dalam genggaman ibu-ibu dengan segala macam alasan

 

menjadi tak selayaknya

 

puisi dan kota yang sudah hampir sepakat untuk saling berbagi kandas seketika

 

kandas dalam cadas, keseimbangan pun turut ditebas, putus tak putus selalu saja pupus,  tapi puisi tak dapat dihapus

 

/asa, banjarbaru, agustus 2015

 

-----------------------------------------------------------------

 

Ali Syamsudin Arsi

KOTA DI LERENG EMBUN

 

bila saja ada kota di lereng embun yang tak pernah diusik oleh hiruk-pikuk bunyi mesin dan taburan racun maka alangkah sejuk dan alangkah damai rasa sesak pun lenyap karena peristirahatan kota di lereng embun semakin lesap jauh ke tulang-tulang ke dalam lapisan kulit-kulit lesap semakin lesap bila saja kota di lereng embun bukan ada hanya di dalam imajinasi seorang penyair yang duduk di bangku paling pojok tanpa riuh rendah bunyi gergaji atau deru tanah terbongkar tanah yang terkelupas pada laci-laci meja kantor berhamburan amplop tanpa tuan tanpa nama tanpa alamat pada sebuah kota di lereng embun tergadaikan, tergadai, atas nama kebijaksanaan

 

kota di lereng embun menadah sinar matahari lenyap ke dalam sebagaimana ia lesap jauh memasuki ruang-ruang jelajah, jelajah ruang-ruang peradaban

 

kota di lereng embun adalah kota dalam peta kelahiranku

 

/asa, banjarbaru, agustus 2015

 

-----------------------------------------------------------------

 

Sumber: KALIMANTAN, Rinduku yang Abadi diterbitkan oleh DISBUDPARPORA Kota Banjarbaru bekerjasama dengan Dewan Kesenian Kota Banjarbaru tahun 2015.


Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel