Penyebaran Kitab Sabilal Muhtadin Di Asia Tenggara


 

Pada bulan Ramadhan tahun 1186 H, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Abdul Wahab Bugis tiba di Tanah Banjar yang disambut dengan meriah oleh masyarakat setempat. Kedatangan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari  dari tanah Haramain membawa berbagai kitab-kitab agama yang didapat selama belajar di sana. Beberapa kitab bahkan beliau salin sendiri karena masih minimnya percetakan pada masa itu. Dari kitab-kitab inilah yang menjadikan rujukan bagi Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ketika mengajar maupun memberikan fatwa.

 

Dalam proses pengajaran kitab, terdapat sedikit kendala dikarenakan kitab yang digunakan masih berbahasa Arab. Walaupun Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari mengajarkan ilmu bahasa Arab, namun menurut beliau memang perlu adanya sebuah kitab agama dalam bahasa lokal (Melayu). Hal ini diperlukan untuk kelangsungan dakwah yang efektif untuk masyarakat Banjar dan masyarakat yang berbahasa Melayu di Nusantara.

 

Salah satu ilmu yang menjadi pondasi dalam beragama bagi umat Islam adalah limu fiqh. Maka Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari mengarang sebuah kitab fiqh berbahasa Melayu dengan judul Sabilal Muhtadin. Kitab ini mulai ditulis pada tahun 1193 H dan selesai dua tahun berselang

 

Isi dari kitab Sabilal Muhtadin banyak disalin oleh murid-murid Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari sebab pada masa itu masih minim alat percetakan. Diantara murid-murid Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang pergi ke Mekkah membawa salinan kitab tersebut sebagai referensi ilmu. Di Mekkah, salinan kitab tersebut juga disalin oleh para penuntut ilmu yang berasal dari negeri berbahasa Melayu yang meliputi kawasan Asia Tenggara. Maka, ketika pulang ke negeri berbahasa Melayu, isi kitab Sabilal Muhatadin ini dijadikan referensi dalam ilmu fiqh dan berdakwah. Hal ini wajar sebab pada masa itu kitab Sabilal Muhtadin merupakan kitab fiqh berbahasa Melayu yang pembahasannya cukup lengkap dan layak dijadikan referensi.

 

Seiring perkembangan zaman akhirnya kitab Sabilal Muhtadin dicetak menggunakan mesin cetak pada tahun 1300 H (1882 M). Terhitung ketika Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari menyelesaikan kitab ini pada tahun 1195 H, maka 105 tahun kemudian barulah kitab tersebut dicetak. Kitab Sabilal Muhtadin dicetak serempak di tiga kawasan yaitu Mekkah, Mesir, dan Istambul. Adapaun pentashih (editor) dari kitab yang dicetak adalah seorang ulama dari Patani Thailand yang mengajar di Mekkah. Beliau bernama Syekh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fathany.

 

Penyebaran kitab Sabilal Muhtadin semakin luas setelah dilakukan percetakan. Kitab ini begitu dikenal oleh para penuntut ilmu dari Asia Tenggara di Mekkah. Bahasa Melayu yang dipakai juga memudahkan para pengajar untuk berdakwah kepada orang-orang yang belum bisa memahami bahasa Arab.

 

Pada perkembanganya dikenal pula kitab Perukunan yang juga berbahasa Melayu dengan rujukan penulisan ke kitab Sabilal Muhtadin. Orang-orang Banjar yang merantau ke Tanah Melayu (Malaysia) banyak membawa kitab ini. Pada tahun 1325 H (1907 M) seorang pedagang dari Nagara mencetak kitab tersebut di Singapura. Dalam kitab tersebut tertulis, “Ini kitab Parukunan Besar bagi Haji Abdurrasyid Banjar, diambil daripada setengah karangan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari”.

 

Selain di Singapura kitab Parukunan juga di cetak di Bombay yang dicetak ulang berkali-kali. Di Indonesia kitab ini juga dicetak diberbagai kota seperti Surabaya, Semarang, Cirebon, Bandung, Jakarta, Bukittinggi, dan Medan. Juga di negeri luar seperti Penang dan Maguindanao (Philipina) kitab ini dicetak demi keperluan dakwah.

 

Khusus di Cirebon suatu penerbit memberikan judul kitab ini menjadi “Perukunan Melayu”. Lalu, dalam perkembangannya diterjemahkan dalam bahasa Sunda dengan judul “Parukunan Sunda” oleh Muhammad Hasan Basry bin Abdullah bin Sumapraja (1932). Sementara di Jakarta kitab ini diterbitkan dengan judul “Parukunan Bahasa Sunda” kemudian menjadi “Parukunan Sunda” oleh Haji Muhamad Juwainy bin Haji Abdurahman. Kitab ini juga diterjemahkan dalam bahasa Jawa oleh Kyai Ahmad Madany dengan judul “Parukunan Gede”.

 

Berdasarkan keterangan dari Prof. M. Thaha Yahya yang merupakan utusan Al-Azhar untuk mengajar agama di Philipina, ia mengatakan bahwa kitab Perukunan yang mengambil rujukan ke kitab Sabilal Muhtadin telah lama ada di Philipina sebagai bahan ajar untuk kaum muslimin awam. Demikian pula didapati bahwa di Vietnam, Myanmar, dan Kamboja juga memakai kitab Perukunan sebagai bahan ajar ilmu fiqh.

 

Dengan demikian dapat disimpulkan pengaruh luar biasa Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang menghidupkan kembali kitab-kitab berbahasa Melayu. Sehingga kitab ini dengan sendirinya tersebar di wilayah Asia Tenggara dan begitu berguna bagi kaum muslimin awam yang belum bisa bahasa Arab. Perlu diakui pula bahwa Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari juga berperan dalam penyebaran mazhab Syafi’I dikawasan Asia Tenggara.

 

Referensi:   Zafry Zamzam. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Ulama dan Juru Da’wah Tanah Borneo Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad 13 H/ 18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara. Banjarmasin. Antasari Press

Comments

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel