Kisah Pocut Meurah Intan bersama Puteranya Mempertahankan Tanah Aceh
Perjuangan rakyat Aceh untuk mengusir penjajah Belanda diikuti oleh dari berbagai kalangan termasuk dari bangsawan Kesultanan Aceh. Diantara bangsawan yang ikut berperang adalah Pocut Meurah Intan. Ia bersama suaminya, Tuanku Abdul Majid merupakan anggota bangsawan yang anti terhadap Belanda. Bahkan, Belanda memberikan gelar kepada Tuanku Abdul Majid dengan sebutan ‘perompak laut’ karena tidak membiarkan begitu saja kapal asing yang melewati wilayahnya. Hal ini dilakukan Tuanku Abdul Majid dalam mengemban tugas sebagai pengutip bea cukai di pelabuhan.
Namun sayang perjuangan suami
Pocut Meurah Intan harus selesai lebih dulu karena ia menyerahkan diri kepada
Belanda. Bagi Pocut Meurah Intan penyerahan diri suaminya kepada Belanda tidak
mengendurkan semangatnya untuk mengusir Belanda. Pocut Meurah Intan bersama tiga puteranya,
yaitu Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin berjuang meneruskan
perjuangan untuk mengusir Belanda.
Pasukan Marsose Belanda melakukan
pelacakan bagi pejuang anti Belanda di wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya.
Mereka-mereka yang dicurigai akan dilacak dan ditangkap demi keutuhan kekuasaan
Belanda. Ketika itulah Pocut Meurah Intan bersama para puteranya mulai
melakukan perlawanan secara bergerilya.
Dua puteranya, yaitu Tuanku
Muhammad dan Tuanku Nurdin tampil dominan sebagai pimpinan perang melawan
pasukan Belanda. Karena berbahaya bagi Belanda, dua putera Pocut Meurah Intan
ini menjadi buron dalam catatan Pasukan Marsose.
Perjuangan Tuanku Muhammad dalam
mempertahankan tanah airnya akhirnya kandas setelah ditangkap Belanda pada
bulan Februari tahun 1900. Ia tertangkap oleh Pasukan Marsose yang melakukan
penyisiran di wilayah Tangse, Pidie. Berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia
Belanda, Tuanku Muhammad dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara dua bulan
berselang.
Pasukan Belanda terus meningkatkan intesitas patroli untuk menangkap para pejuang yang memberontak. Hingga
akhirnya Pocut Meurah Intan bertemu dengan pasukan Belanda dan terjadilah
perlawanan. Pasukan Belanda mencoba menangkap Pocut Meurah Intan. Namun, tidak
mudah bagi Belanda untuk menaklukannya. Pocut Meurah Intan melakukan perlawanan
keras untuk meloloskan diri.
Perlawanan Pocut Meurah Intan
dibalas Pasukan Belanda dengan dua tetakan di kepala, dua di bahu, dan satu
urat keningnya putus. Ia terbaring di tanah dengan lumur darah dan lumpur yang
meghinggapi tubuh. Tidak hanya itu, Belanda dengan keji memberi kotoran sapi
pada luka berdarah di tubuh Pocut Meurah Intan. Hal ini mengakibatkan lukanya
menjadi berulat.
Awalnya ia tidak bersedia
menerima tawaran Belanda untuk merawatnya. Tapi akhirnya ia menerima dan
menderita pincang seumur hidup. Ketika Pocut Meurah Intan sembuh, ia dimasukkan
oleh Belanda ke penjara di Kutaraja.
Walau ibunya sudah tertangkap
Belanda, Tuanku Nurdin tetap melakukan perlawanan sengit terhadap Belanda. Ia
memimpin perlawanan rakyat Aceh di wilayah Laweueng dan Kalee. Untuk meredam
perlawanan Tuanku Nurdin, Belanda menangkap isterinya dengan harapan Tuanku
Nurdin menyerah. Namun, hal ini tidak mempan bagi dirinya.
Tuanku Nurdin baru berhasil
ditangkap pada 18 Februari 1905 di sebuah tempat persembunyiannya di Desa Lhok
Kaju. Ia dipenjara bersama ibunya dan saudaranya beserta keluarga kesultanan
lainnya. Belanda lalu membuang mereka ke Blora, Jawa Tengah.
Pocut Meurah Intan meninggal di
Blora pada 19 September 1937. Jika kita melihat kondisi makamnya agak sedikit
memprihatinkan. Karena jika dilihat perjuangan Pocut Meurah Intan tidak
sepantasnya makamnya hanya seperti ini. Bahkan tidak ada tanda khusus yang
memberikan informasi bahwa Pocut Meurah Intan merupakan seorang pejuang yang
mempertahankan tanah airnya.
Sumber: Wikipedia. bppkad.blorakab.go.id
Comments
Post a Comment