Syekh Abdurrahman Siddiq, Ulama Banjar di Tanah Rantau
Syekh Abdurrahman Siddiq atau Tuan Guru Sapat merupakan
ulama kelahiran Dalam Pagar, Martapura yang melanglang buana dari Pulau ke
pulau bahkan sampai ke Singapura dan Malaysia. Beliau lahir dari ayah bernama
Muhammad ‘Afif Mahmud yang juga dikenal dengan panggilan Datu Landak. Datu
Landak merupakan salah seorang yang berjasa dalam pembangunan Masjid Agung
Al-Karomah. Jika ditelusuri lebih jauh, Syekh Abdurrahman Siddiq masih
merupakan keturunan ulama besar Kalimantan Selatan, yaitu Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari.
Ketika usia baru menginjak tiga bulan, ibunda Abdurrahman
Siddiq kecil meninggal dunia. Lalu, beliau berada dalam asuhan nenek dan
kakeknya. Namun, baru satu tahun usia beliau, kakeknya juga meninggal dunia.
Alhasil, Abdrrahman Siddiq kecil hanya diasuh oleh neneknya yang bernama Ummu
Salaman.
Saat Syekh Abdurrahman Siddiq cukup dewasa, beliau dikirim
oleh neneknya untuk menuntut ilmu pada guru-guru ahli agama di kampungnya.
Dirasa cukup mendapat ilmu di kampong halamannya, Syekh Abdurrahman Siddiq
memutuskan untuk merantau ke luar pulau tepatnya ke Sumatera dan menetap di
Padang. Di Padang beliau menambah wawasan keilmuannya dengan berguru kepada
ulama setempat dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1882.
Belum puas akan ilmu yang dimilikinya, Syekh Abdurrahman
Siddiq memilih kembali merantau menuju tanah Arab. Syekh Abdurrahman Siddiq
melanjutkan pencarian ilmunya ke Mekkah dan berangkat pada tahun 1887.
Di kota Mekkah, beliau banyak menghadiri Majelis Ilmu ulama
Hijaz yang terkemuka diantaranya, Syekh Mufti Said Zaini Dahlan, Syekh Nawawi
Al-Bantani, Syekh Bahri Shatho, dan Syekh M. Said Babasil. Ketika belajar di
Mekkah ini beliau mendapatkan gelar Siddiq dari gurunya dan resmilah nama
beliau menjadi Abdurrahman SIddiq. Tidak hanya di Mekkah, Syekh Abdurrahman
Siddiq juga banyak mengikuti halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi. Hal ini
dilakukan beliau selama tujuh tahun lamanya.
Karena ketinggian ilmunya, Syekh Abdurrahman Siddiq diangkat
menjadi pengajar di Masjidil Haram. Karena keganangan kampung halamannya, Syekh
Abdurrahman Siddiq memutuskan pulang ke tanah Banjar. Dikarenakan situasi di
Banjar yang bergejolak peperangan melawan Belanda, beliau memutuskan untuk
kembali ke Sumatera.
Syekh Abdurrahman Siddiq tiba di Bangka pada tahun 1898 dan
mulai melakukan dakwah serta menulis kitab. Pada suatu kesempatan Syekh
Abdurrahman Siddiq berkunjung ke Singapura. Di sini beliau bertemu dengan
saudagar Banjar yang bermukim di Indragiri, Riau. Saudagar Banjar tersebut
meminta agar Syekh Abdurrahman Siddiq untuk mengajar dan melancarkan dakwahnya
di Indragiri.
Beliau tidak langsung menuju Indragiri dan menuju Batavia
(Jakarta) terlebih dahulu. Karena luasnya ilmu yang dimiliki Syekh Abdurrahman
Siddiq, beliau diminta untuk menjadi mufti di Batavia menggantikan Mufti Said
Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya. Namun, Syekh Abdurrahman Siddiq menolak.
Beliau juga pernah ditawari menjadi
mufti di Kesultanan Johor Malaysia tapi menolaknya.
Sampai di Riau, Syekh Abdurrahman Siddiq memilih tinggal di
Sapat. Selain sebagai pengajar agama beliau juga menjadi pedagang emas. Nama
beliau saat itu dikenal sebagai Tukang Emas Durahman.
Sultan Mahmud Shah yang menjabat sebagai Sultan Indragiri
melihat Syekh Abdurrahman sebagai ulama yang dapat menyelesaikan segala masalah
dengan bijak. Untuk itu Sultan meminta Syekh Abdurrahman untuk menjadi
penasehat kesultanan soal agama dan ketatanegaraan singkatnya menjadi mufti
Kesultanan Indragiri.
Awalnya Syekh menolak seperti halnya yang beliau lakukan
pada tawaran-tawaran sebelumnya di Batavia dan Johor Malaysia. Tapi, setelah
memikirkannya kembali dan melihat situasi umat Islam saat itu Syekh Abdurrahman
Siddiq memutuskan untuk menerima tawaran Sultan Mahmud Shah untuk menjadi Mufti
Kesultanan Indragiri.
Selama menjabat sebagai pejabat Kesultanan Indragiri, Syekh
Abdurrahman Siddiq memutuskan untuk tidak memakai gaji yang diberikan pihak
kesultanan. Beliau memberikan gajinya kepada orang-orang sekitar yang
memerlukannya. Sementara untuk memenuhi keperluan sehari-hari beliau
mendapakannya dari hasil perkebunan dan pertaniannya sendiri. Syekh Abdurrahman
Siddiq juga mempunyai keahlian di bidang pertanian.
Beliau menjadi pionir dalam percocok tanaman perkebunan
kelapa di Indragiri. Beliau sendiri mempunyai sebanyak 4.800 batang kelapa dan
sebanyak 2.800 batang kelapa diantaranya diwakafkan kepada kepentingan umat
Islam khususnya di bidang pendidikan. Penghasilan pertama dari perkebunan ini
beliau gunakan untuk membuat masjid di sebelah rumah tempat beliau tinggal.
Selanjutnya, Syekh Abdurrahman Siddiq membangun madrasah dan tidak kurang
seratus pondok untuk para santri tanpa dipinta biaya. Bahkan beliau sendiri
yang memenuhi keperluan para santri.
Syekh Abdurrahman Siddiq wafat di Sapat, Indragiri pada
tahun 1939. Tidak sedikit urang Banjar yang berziarah ke makam beliau.
Sumber: Wikipedia I Sindonews
Comments
Post a Comment