Syekh Nafis Al-Banjari dan Kitab Ad Durun Nafis

 

Kalimantan Selatan dikenal sebagai daerah gudangnya ulama. Silih berganti lahir penerus ulama yang melanjutkan estafet dakwah di Kalimantan Selatan. Salah satu ulama tersebut ialah Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari. Beliau merupakan ulama yang silsilahnya tersambung sampai ke Sultan Suriansyah, yang merupakan Sultan Banjar pertama.

 

Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari hidup pada masa Kesultanan Banjar. Beliau dikenal sebagai ulama yang ahli dibidang tasawuf. Keahlian beliau ini didapat dengan perjuangan menuntut ilmu ke Mekkah dan berguru kepada ulama-ulama yang terkenal pada masanya. Diantara guru-guru Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari adalah Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi Al-Mihsri, Syekh Siddiq bin Umar Khan, Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman Al-Madani, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz Al-Maghribi, dan Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Jauhari.

 

Setelah sekian lama menuntut ilmu di Mekkah, Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari memutuskan untuk pulang ke tanah air sekitar tahun 1795 (1210 H). Beliau memutuskan untuk berdakwah ke daerah Kelua yang begitu jauh dari pusat Kesultanan Banjar. Hal ini karena dakwah di pusat Kesultanan Banjar sudah diemban oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari.

 

Keikhlasan Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari dalam berdakwah menjadikan Kelua sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di daerah pedalaman. Bahkan Kelua juga dikenal sebagai daerah yang gigih melawan penjajah. Hal ini juga berkat andil Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari yang menanamkan sikap Tauhid yang kuat kepada penduduk sekitar. Begitu juga dalam ajaran Tasawuf beliau menekankan bahwa kaum muslimin harus mempunyai sikap aktivisme yang kuat. Seorang muslim tidak boleh hidup pasrah dan harus berjuang untuk kehidupan yang lebih baik.

 

Salah satu kitab karangan beliau yang terkenal ialah Ad-Durrun Nafis. Konon, ketika seseorang telah selesai mempelajari kitab ini maka ia tidak takut kepada kematian. Hal inilah yang membuat penjajah Belanda menjadi khawatir dengan semangat jihad tersebut. Belanda melakukan propaganda dengan cara menyebarkan isu di masyarakat bahwa kitab Ad-Durrun Nafis merupakan kitab yang bertentangan dengan ajaran Islam. Isu ini membuat intrik di masyarakat hingga terjadi larangan untuk mempelajarinya.


Ajaran-ajaran tasawuf Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari dikenal sebagai ilmu tingkat tinggi yang tidak sembarang untuk dipelajari oleh setiap orang. Hal ini seperti yang beliau utarakan pada kitab tersebut yang menghimpun beberapa Tarekat.


“Dan yang menghimpun risalah ini adalah hamba yang fakir lagi hina, mengaku dengan dosa dan taqshīr, lagi yang mengharap kepada Tuhannya yang amat kuasa, yaitu yang terlebih fakir dari segala hamba Allah Ta’ala yang menjadikan segala makhluk. Yaitu Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, di negeri Banjar tempat jadi, dan di negeri Mekah tempat diamnya, Syafi’i mazhabnya, yaitu pada fikih. Asy’ari i’tikadnya, yaitu pada ushuluddin. Junaidi ikutannya yaitu pada ilmu tasawuf. Qadiriyah tarekatnya, Syattariyah pakaiannya, Naqsyabandiyah amalannya, Khalwatiyah makananya, Sammaniyah minumannya.”

 

Kitab ini bernama lengkap  Durrun Nafis fi Bayan Wahdah al-Af’al al-Asma wa as-Shifat wa azd-Dzat at-Taqdis. Selain dipelajari di tanah air kelahiran Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari kitab ini juga dipelajari di mancanegara khususnya oleh negara-negara rumpun Melayu.

 

Sumber:   Ulama Banjar dari Masa ke Masa oleh Antasari Press

Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang

Mimpi Osman Ghazi akan Konstantinopel